Beruntung sekali rasanya bertemu lagi dengan Ompung Martogi ini. usianya sudah 72 tahun, tetapi masih sangat energik. dibanding teman-teman seusianya boleh dibilang dia punya kelebihan yang luar biasa, pasalnya kebiasaan lamanya bertenun masih tetap dilakoninya. sekalipun menurutnya pandangannya tak lagi jelas, nunga marombun alias sudah banyak kabutnya “begitu katanya”.
Pertemuan kami kali ini memang bukan sebuah kebetulan, saya sengaja mencarinya. hari itu jarum jam menunjukkan pukul 14.30 Wib, perhitungan cepat “Quick Count” di salah satu TV swasta sudah 70 persen. melihat perolehan suasa yang menurut saya sangat fenomenal, pikiranku melayang banyak pertanyaan yang muncul, benarkah ini? bukankan ini kurang masuk akal? apa yang ada di benak para pemilih?. Tiba-tiba aku langsung teringat dengan Ompung Martogi, entah kenapa mesti Ompung Martogi yang hadir dibenakku. Perempuan tua yang tak mengerti politik. Yang dia tau hanya “kising” istilah yang populer dikalangan masyarakat Tapanuli, maksudnya hampir sama dengan Pemilu. kising merupakan perhelatan untuk memilih para pemimpim masyarakat jaman dahulu.
Pada Pemilu Presiden tahun 2004 saya memang punya sebuah kesan yang unik dengan Ompung Martogi. Setelah mencoblos saya berdiri sejenak memperhatikan suasana jalannya pemungutan suara di TPS 03 yang jaraknya sekitar 2 km dari tempat saya tinggal. Pemilu kali ini lain dari biasanya, suasananya sangat menyenangkan, sama sekali tidak ada ketegangan diwajah semua orang di sini, tanpa beban dan kalau boleh jujur sepertinya kebanyakan orang tidak terlalu perduli dan tidak ambil pusing. Misalnya saja, tetangga saya malah merasa rugi harus menempuh perjalanan 2 km dengan jalan kaki hanya untuk sesuatu yang tidak ada untungnya, begitu katanya. Dari balik terpal hitam itu Ompung martogi berjalan, sambil celoteh sangat bersemangat sampai-sampai dia tidak peduli dengan cucunya yang menunggunya diluar tali pembatas. tiba-tiba dia mengjampiriku dan tanpa pengantar langsung meluapkan isi hatinya, “bagak hian engkel nai, Tongam muse” (manis sekali senyumnya dan sangat berwibawa).
Siapa Ompung?
Si Bambang…
Ooohhh…. dengan detil kuliah wajah Ompung ini sangat bahagia. aku langsung mengerti dan menarik kesimpulan siapa yang barusan dia coblos.
kuikuti langkahnya dan terus kudengarkan ceritanya, cerita dari seorang tua yang sangat sederhana dan polos. Kata-katanya bak mengalir dari relung hatinya yang paling dalam. Baginya tidak ada Presiden karena dia tidak paham maksud kata itu, yang dia tahu hanya seorang Raja dengan mahkota dan segala kuasa ada padanya. dan dia telah memilih Rajanya baru saja, sekalipun Dia tidak berharap banyak dari Raja itu, harapannya ada di sawah, ladang dan ternak2nya, semoga semakin baik dan kehidupan anak-anaknya semakin baik.
Tetapi ada yang lucu dari ceritanya yang membuatku menggeleng-gelengkan kepala. Bagi Ompung yang tua renta ini persoalan besar bangsa menjadi sangat sederhana. berulang-ulang dia sebut senyum dan wibawanya si Bambang. Orang yang baru dia kenal lewat selembar foto tetapi sangat mengesankan baginya. Senyum? iya, hanya senyum. dan hanya senyum, tidak ada alasan lain yang dia sebutkan. Padahal Mega termasuk orang dia idolakan, selama puluhan tahun nama itu sangat akrab ditelinganya.
Selasa, 18 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tulisan ini sebenarnya belum selesai, secara tidak sengaja langsung termuat di blog public kompasiana.
BalasHapus