Rabu, 26 Agustus 2009

Syariah, Sari Bagi Sesama

“Bank Syariah Bagi Semua Orang”

Satu diantara pekerjaan-pekerjaan paling sulit di dunia ini adalah memahami orang lain. Pemahaman adalah buah dari proses yang panjang, berawal dari pengenalan, pendalaman, penerimaan terhadap obyek yang kita pahami. Pemahaman akan memberikan ruang yang lebik banyak bagi kita untuk mengenal dunia dan memberi warna yang lebih indah bagi hidup kita, dan sebaliknya tanpa adanya kemauan untuk memahami orang lain akan menyempitkan cakrawala kita, sehingga sesungguhnya kita menjadi penuh sesak dalam ruang diri kita yang sempit.

Barangkali penyebab masih terjadinya gesekan sosial terutama antara ragam para penganut kepercayaan di Indonesia adalah budaya kita sendiri yang selalu berhenti pada tingkat toleran.Seakan-akan toleransi mampu memberikan sesuatu. semestinya toleran tidaklah cukup,karena toleransi tidak menghasilkan sesuatu yang baik, ia hanya mampu menghindari sesuatu yang buruk. hanya sampai disitu. Sudah saatnya kita naik kelas ke fase pemahaman akan sesama.

Sangat disayangkan memang generasi kita terlanjur menerima warisan dosa sejarah, sejarah yang hampir selalu dituliskan dengan tinta hitam. Generasi yang tidak pernah dianjurkan untuk mengenal sahabat-sahabtnya dari aliran agama yang berbeda. Malah agama formalis yang kita terima ditempelkan banyak meterai yang membuat kita memandang hina yang lain dan memandang lebih diri kita sendiri.
Ketika sudah sedemikian jauh kita berseberangan, masih adakah sesuatu yang bisa mendekatkan kita?, masih adakah sesuatu yang bisa membawa kita kembali mengenal, mendalami, menerima hingga tercipta sebuah pemahaman sebagai sesama mahkluk Tuhan?

Inilah saatnya kita mengenal kembali sahabat-sahabat kita dari sudut yang berbeda. beruntung saya sempat mendengar Ekonomi Syariah, Bank Syariah. Mesti spontan terlanjur tak menyukainya. Syariah adalah sisi lain Agama Islam, sebuah lorong lain menuju pengenalan sahabat-sahabat lama saya dari sudut yang berbeda.
Sekalipun hanya sebuah kebetulan, dalam bahasa Batak Sari (baca syari) mengandung arti yang amat dalam, Sari berarti peduli, bahkan maknanya jauh lebih dalam dari itu. Sari memikirkan orang lain seperti diri sendiri. Seseorang bisa disebut sari bagi sesamanya ketika kepedulian itu berwujud perbuatan, pemberian, tidak mengutamakan diri sendiri.

Dari sekian banyak buku yang pernah saya baca Syariah juga bermakna Sari bagi sesamanya. Nasabah bukanlah Obyek, bukan sekedar pelanggan tetapi mitra yang sejajar, Sahabat dalam arti yang sesungguhnya dalam untung dan rugi. Syariah memberi kemudahan, atas dasar subuah pemahaman bahwa orang lain juga sama seperti diri kita. Mereka tidak ingin dipersulit, tidak ingin dibebani apalagi diperas secara tidak langsung. Syariah menonjolkan sisi keluhuran budi manusia, bagaimana mendapatkan keuntungan secara wajar, memberdayakan ekonomi yang menguntungkan bagi semua. Memberi motivasi untuk berkembang terus tanpa harus melupakan nurani.

Sesederhana itulah syariah yang saya pahami. Dan bagiku itu cukup untuk memahamimu, karena semuanya itu adalah logika jiwaku dan suara hatiku. Bagaiman mungkin konsep ekonomi lama yang berpegang pada prinsip “Modal sekecil-kecilnya untuk memdapatkan keuntungan sebesar-besarnya” terus kita pertahankan dan sehingga membuat “gila” semua orang menghalalkan segala cara.

Syariah semestinya diterima semua orang, entah dengan bahasa dan istilah yang berbeda. Namun prinsip-prinsipnya akan memberikan nilai-nilai baru bagi kemajuan perekonomian dan menghangatkan sapaan kemanusiaan tanpa batas-batas. Menjembatani silaturahmi sesama anak manusia lewat karya-karya dan bukan debat yang tak berujung dan “maaf” tak berguna. karena komunikasi dan pemahaman akan tercipta lewat penerimaan akan nilai-nilai dan bukan jargon-jargon.

Maka jangan berikan saya seribu ayat kitab suci tetapi tunjukkan saya makna syariah yang sesungguhnya, Aku sangat memahamimu.

Syariah, Sari bagi sesama adalah wujud kasih yang sempurna.

Syariah, Sari Bagi Sesama

"Bank Syariah Bagi Semua Orang"

Satu diantara pekerjaan-pekerjaan paling susah di dunia ini adalah memahami orang lain. Pemahaman adalah buah dari proses yang panjang, berawal dari pengenalan, pendalaman, penerimaan terhadap obyek yang kita pahami.
Barangkali penyebab masih terjadinya gesekan sosial terutama antara ragam para penganut kepercayaan di Indonesia adalah budaya kita sendiri yang selalu berhenti pada tingkat toleran.Seakan-akan toleransi mampu memberikan sesuatu. semestinya toleran tidaklah cukup,karena toleransi tidak menghasilkan sesuatu yang baik, ia hanya mampu menghindari sesuatu yang buruk. hanya sampai disitu. Sudah saatnya kita naik kelas ke fase pemahaman akan sesama.
Sangat disayangkan memang generasi kita terlanjur menerima warisan dosa sejarah, sejarah yang hampir selalu dituliskan dengan tinta hitam. Generasi yang tidak pernah dianjurkan untuk mengenal sahabat-sahabtnya dari aliran agama yang berbeda. Malah agama formalis yang kita terima ditempelkan banyak meterai yang membuat kita memandang hina yang lain dan memandang lebih diri kita sendiri.
Ketika sudah sedemikian jauh kita berseberangan, masih adakah sesuatu yang bisa mendekatkan kita?, masih adakah sesuatu yang bisa membawa kita kembali mengenal, mendalami, menerima hingga tercipta sebuah pemahaman sebagai sesama mahkluk Tuhan?
Inilah saatnya kita mengenal kembali sahabat-sahabat kita dari sudut yang berbeda. beruntung saya sempat mendengar Ekonomi Syariah, Bank Syariah. Mesti spontan terlanjur tak menyukainya. Syariah adalah sisi lain Agama Islam, sebuah lorong lain menuju pengenalan sahabat-sahabat lama saya dari sudut yang berbeda.
Sekalipun hanya sebuah kebetulan, dalam bahasa Batak Sari (baca syari) mengandung arti yang amat dalam, Sari berarti peduli, bahkan maknanya jauh lebih dalam dari itu. Sari memikirkan orang lain seperti diri sendiri. Seseorang bisa disebut sari bagi sesamanya ketika kepedulian itu berwujud perbuatan, pemberian, tidak mengutamakan diri sendiri.
Dari sekian banyak buku yang pernah saya baca Syariah juga bermakna Sari bagi sesamanya. Nasabah bukanlah Obyek, bukan sekedar pelanggan tetapi mitra yang sejajar, Sahabat dalam arti yang sesungguhnya dalam untung dan rugi.
Maka jangan berikan saya seribu ayat kitab suci tetapi tunjukkan saya makna syariah yang sesungguhnya, Aku sangat memahamimu.
Syariah, Sari bagi sesama adalah wujud kasih yang sempurna.

Minggu, 23 Agustus 2009

Memaknai Tubuh, Menyelaraskan Hidup diantara Cita-cita dan Hawa Nafsu

Dahi = Otak =Pikiran, Kebutuhan akan peningkatan ilmu pengetahuan, wawasan.
Wajah = Citra = Kebutuhan akan nama baik dan citra positif di tengah masyarakat.
Dada = Papan Nama = Gelar, Prestise,dll
Perut = Kebutuhan pangan = kemapanan, kesejahteraan.
di Bawah Perut = Kebutuhan akan keturunan, Nafsu, dll
dll.

Selasa, 18 Agustus 2009

Segitu Mempesonanyakah Senyum SBY?

Beruntung sekali rasanya bertemu lagi dengan Ompung Martogi ini. usianya sudah 72 tahun, tetapi masih sangat energik. dibanding teman-teman seusianya boleh dibilang dia punya kelebihan yang luar biasa, pasalnya kebiasaan lamanya bertenun masih tetap dilakoninya. sekalipun menurutnya pandangannya tak lagi jelas, nunga marombun alias sudah banyak kabutnya “begitu katanya”.

Pertemuan kami kali ini memang bukan sebuah kebetulan, saya sengaja mencarinya. hari itu jarum jam menunjukkan pukul 14.30 Wib, perhitungan cepat “Quick Count” di salah satu TV swasta sudah 70 persen. melihat perolehan suasa yang menurut saya sangat fenomenal, pikiranku melayang banyak pertanyaan yang muncul, benarkah ini? bukankan ini kurang masuk akal? apa yang ada di benak para pemilih?. Tiba-tiba aku langsung teringat dengan Ompung Martogi, entah kenapa mesti Ompung Martogi yang hadir dibenakku. Perempuan tua yang tak mengerti politik. Yang dia tau hanya “kising” istilah yang populer dikalangan masyarakat Tapanuli, maksudnya hampir sama dengan Pemilu. kising merupakan perhelatan untuk memilih para pemimpim masyarakat jaman dahulu.

Pada Pemilu Presiden tahun 2004 saya memang punya sebuah kesan yang unik dengan Ompung Martogi. Setelah mencoblos saya berdiri sejenak memperhatikan suasana jalannya pemungutan suara di TPS 03 yang jaraknya sekitar 2 km dari tempat saya tinggal. Pemilu kali ini lain dari biasanya, suasananya sangat menyenangkan, sama sekali tidak ada ketegangan diwajah semua orang di sini, tanpa beban dan kalau boleh jujur sepertinya kebanyakan orang tidak terlalu perduli dan tidak ambil pusing. Misalnya saja, tetangga saya malah merasa rugi harus menempuh perjalanan 2 km dengan jalan kaki hanya untuk sesuatu yang tidak ada untungnya, begitu katanya. Dari balik terpal hitam itu Ompung martogi berjalan, sambil celoteh sangat bersemangat sampai-sampai dia tidak peduli dengan cucunya yang menunggunya diluar tali pembatas. tiba-tiba dia mengjampiriku dan tanpa pengantar langsung meluapkan isi hatinya, “bagak hian engkel nai, Tongam muse” (manis sekali senyumnya dan sangat berwibawa).

Siapa Ompung?

Si Bambang…

Ooohhh…. dengan detil kuliah wajah Ompung ini sangat bahagia. aku langsung mengerti dan menarik kesimpulan siapa yang barusan dia coblos.

kuikuti langkahnya dan terus kudengarkan ceritanya, cerita dari seorang tua yang sangat sederhana dan polos. Kata-katanya bak mengalir dari relung hatinya yang paling dalam. Baginya tidak ada Presiden karena dia tidak paham maksud kata itu, yang dia tahu hanya seorang Raja dengan mahkota dan segala kuasa ada padanya. dan dia telah memilih Rajanya baru saja, sekalipun Dia tidak berharap banyak dari Raja itu, harapannya ada di sawah, ladang dan ternak2nya, semoga semakin baik dan kehidupan anak-anaknya semakin baik.

Tetapi ada yang lucu dari ceritanya yang membuatku menggeleng-gelengkan kepala. Bagi Ompung yang tua renta ini persoalan besar bangsa menjadi sangat sederhana. berulang-ulang dia sebut senyum dan wibawanya si Bambang. Orang yang baru dia kenal lewat selembar foto tetapi sangat mengesankan baginya. Senyum? iya, hanya senyum. dan hanya senyum, tidak ada alasan lain yang dia sebutkan. Padahal Mega termasuk orang dia idolakan, selama puluhan tahun nama itu sangat akrab ditelinganya.